Jayapura |Acehtraffic.com - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [Kontras] mengaku sangat kecewa terhadap Presiden SBY yang tak kunjung menjalankan komitmen politik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu. Demikian disampaikan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [Kontras] seperti yang dilansir Papuapost, Kamis [29/12] kemarin.
Sepanjang tahun 2011, perubahan yang diharapkan korban tentang adanya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat masih jalan di tempat. ‘’Pemerintah masih menolak pertanggungjawaban pelanggaran HAM dimasa lalu, dengan terus menerus mengingkari Konstitusi (UUD 1945), mengabaikan konsensus nasional sebagai mandat reformasi, dan menutup mata atas kewajiban internasionalnya,’’ katanya.
Ketidakmuan negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu
terus berulang dari tahun ke tahun. Jaksa Agung baru, Basrief Arief tak kunjung
melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah
diserahkan oleh Komnas HAM dengan berbagai alasan yang dipolitisasi. Akibatnya,
berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat, diantaranya kasus Trisakti, Semanggi
I dan II (1998 dan 1999), Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Orang Secara
Paksa 1997-1998, Talangsari 1989 dan Wasior-Wamena, Papua (2001 dan 2003) masih
mandek di Kejaksaan Agung.
Sikap Kejaksaan Agung ini, justru diperkuat dengan sikap
Presiden yang mengabaikan rekomendasi DPR tahun 2009 atas penyelesaian kasus
Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998, diantaranya membentuk pengadilan
HAM adhoc, mencari para korban yang masih hilang dan melakukan rehabilitasi
kepada para korban dan keluarganya.
Rekomendasi Komnas HAM untuk pemberian Surat Keterangan Status
Korban Penghilangan Paksa bagi 13 korban yang masih dihilangkan hanya satu-satunya
upaya yang dilakukan. Hal ini harus menjadi acuan bagi pemerintah untuk segera
melakukan pencarian korban yang masih hilang untuk menjamin kepastian hukum dan
pemulihan bagi korban dan keluarga korban.
Di sisi lain, Komnas HAM juga masih berhutang kepada Korban dan
keluarga Korban peristiwa 1965/1966 karena tak kunjung menyelesaikan
penyelidikan yang telah berjalan selama 3 tahun terakhir ini. Terbukanya
kebenaran dan rehabilitasi nama baik menjadi harapan bagi Korban yang
didiskriminasi secara politik oleh Negara selama lebih dari 40 tahun.
Sementara, penyelesaian pelanggaran berat HAM di Papua dan dan
Papua juga tidak menjadi prioritas pemerintahan, meskipun telah ada UU Otonomi
Khusus Papua dan UU Pemerintahan Aceh yang memandatkan adanya Pengadilan HAM
dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di dua wilayah khusus ini. Akibatnya,
kekerasan dan pelanggaran HAM masih terus berlangsung di Papua, sementara
pemenuhan terhadap hak korban Aceh terus diabaikan.
Di tengah kemandekan proses hukum penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran HAM berat, Presiden justru mendorong suatu insiatif penyelesaian
diluar jalur yang disepakati sebagai konsensus nasional. Presiden membentuk Tim
Kecil Penangangan kasus Pelanggaran HAM berat dibawah kordinasi Menko-Polhukam,
Djoko Suyanto yang terdiri dari Komnas HAM, Wakil Kemenko Polhukam, Kementrian
Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Kejaksaan
Agung, Mabes TNI, Mabes Polri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Perhutanan, Kementrian BUMN, KemESDM, KemPU.
Mandat kerja tim ini adalah "mencari format terbaik
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu"dan konflik SDA agar
tidak berlarut-larut. Presiden juga mengangkat Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Denny Indrayana yang menyatakan komitmennya untuk penyelesaian masalah HAM masa
lalu sebagai bagaian dari percepatan program pemerintah dalam tiga tahun ke
depan.
‘’Mulanya, kami menganggap respon dan komitmen Presiden ini
dapat menjadi upaya untuk memperkuat institusi terkait untuk menjalankan
penyelesaian komprehensif terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM berat
dengan mengacu pada prinsip hak-hak korban atas keadilan, kebenaran, pemulihan,
dan jaminan ketidakberulangan, dan mengacu pada supremasi hukum,’’ katanya.
Meski demikian, hingga akhir tahun tim hanya merespon dan
menampung masukan dan harapan dari komunitas korban dan melakukan kegiatan
kunjungan ke korban Talangsari, pertemuan dengan Korban Tanjung Priok dan
korban Semanggi I serta melakukan kunjungan ke Kupang untuk melihat kondisi
pengungsi eks Timor-Timur. Belum juga ada kejelasan tentang "format
terbaik penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu", sebagaimana
mandat yang diberikan.
Pada tahun 2012, akan terus terjadi tarik menarik politik nasional
yang berpengaruh pada pertarungan politik HAM, khususnya bagi penanganan
peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Proses transisi menghasilkan bangunan
struktur kekuatan politik yang tidak sepenuhnya terpisah dari regim sebelumnya,
dan menyertakan realitas bahwa banyak kekuatan-kekuatan dan elemen dari regim
sebelumnya masih turut serta dan mencoba untuk mengambalikan kekuasaan.
Situasi ini akan semakin mengkhawatirkan jika Presiden tidak
mengambil tindakan tegas dan nyata untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
berat di masa lalu sebagai upaya untuk melangkah maju di masa depan.
Untuk para korban pelanggaran HAM mendesak Presiden SBY,
menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk menegakkan negara hukum, dengan
memerintahkan seluruh institusi dan lembaga negara untuk memastikan adanya
proses hukum yang adil terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu; memenuhi
hak-hak warga negara, khususnya para korban, dengan melakukan pemulihan
kesetaraan hak-hak sebagai warga negara, dan hak-hak lainnya sebagaimana dinyatakan
dalam UUD 1945.
Melaksanakan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, untuk
membentuk pengadilan HAM atas berbagai peristiwa yang telah selesai diselidiki
oleh Komnas HAM. Melaksanakan Ketetapan MPR No. V tahun 2000, yang memandatkan
adanya proses pengungkapan kebenaran tentang pelanggaran HAM masa lalu,
pencapaian keadilan dan pemulihan bagi para korban.
Memerintahkan tim Menkopolhukam untuk mendorong, memfasilitasi
dan membuat kebijakan format penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, melalui
pengakuan dan permintaan maaf resmi (official) kepada korban dan keluarga
korban atas terjadi Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Peningkatan akuntabilitas
penegakan Hukum demi terselenggaranya kepastian hukum dan perlakuan yang sama
di hadapan hukum.
Perwujudan keadilan
restoratif melalui upaya-upaya pemulihan harkat dan martabat kehidupan para
korban.Jaminan adanya pencegahan keberulangan di masa depan melalui penghapusan
kebijakan yang diskriminatif, serta langkah-langkah lain yang diperlukan. | AT
| PP |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar