27 Januari, 2013

Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada 2012 Meningkat


Tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua meningkat di 2011 dan 2012. Daerah otonomi khusus berbalik menjadi daerah operasi militer.

LEMBAGA Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, dalam siaran persnya, di Abepura, Rabu, 19 Desember 2012, menyebutkan ada peningkatan kekerasan di Papua sejak Agustus 2011 hingga Desember 2012. Menurut catatan lembaga ini, terdapat sejumlah peristiwa yang menyebabkan korban, yang diabaikan pemerintah.

Misalnya, Operasi Aman Matoa I 2011, penembakan-penembakan oleh apa yang disebut polisi sebagai “orang tak dikenal” (OTK), pengungsian internal, serta penembakan kilat oleh aparat polisi terhadap masyarakat sipil.

Operasi Aman Matoa I adalah operasi penumpasan pelaku kriminal bersenjata di wilayah Puncak Jaya dan Pamiai. Operasi yang dilakukan Satuan Tugas Operasi (Satgas Ops), melalui Surat Telegram Kapolri No. STR/687/VIII/2011 tanggal 27 Agustus 2011, ini dipimpin Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Leo Bona Lubis.

Operasi Aman Matoa I di Kabupaten Paniai telah mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia, berwujud kematian, luka-luka, kehilangan fasilitas (pribadi dan umum), dan pengungsian. Dua orang meninggal, akibat konflik bersenjata; empat luka-luka; 78 rumah hangus dibakar; aktivitas di dua sekolah dasar, empat sekolah menengah pertama dan 19 gereja macet.

Ratusan alat-alat pribadi, seperti parang, pisau, gergaji, martil, anak panah dan busur, disita. Korban meninggal dalam pengungsian 37 orang (termasuk bayi dan anak-anak).



Sebagian pengungsi Keerom
Elsham juga menginventarisasi kekerasan aparat keamanan yang melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan internasional.

Misalnya, penyerangan anggota polisi terhadap pendukung Persipura di Stadion Mandala pada 13 Mei 2012 yang berdampak, 18 orang sesak napas, akibat serangan gas air mata dan penahanan tanpa prosedural enam orang lainnya.

Penembakan empat warga oleh polisi di Degeuwo pada 15 Mei 2012 yang menyebabkan seorang meninggal dan tiga lainnya luka-luka.

Penyerangan penduduk di Honai Lama, Wamena, oleh anggota TNI dari Batalyon 756 Wimane Sili pada 6 Juli 2012 yang berdampak seorang meninggal dan empat belas luka-luka berat.

Di Kota Serui, aparat polisi menangkap semena-mena dan menyiksa 10 warga, saat peringatan Hari Pribumi se-Dunia pada 9 Agustus 2012.

Di Manokwari, pada 23 Oktober 2012, polisi menahan 15 orang dan menyiksa sembilan di antara mereka, serta melakukan penembakan yang berakibat dua orang lainnya luka-luka, saat  membubarkan paksa demonstran dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di depan kampus Universitas Negeri Papua.

Di Jayapura, pada 14 Juli 2012, polisi menembak mati Ketua I KNPB Mako Tabuni; dan di Wamena, 16 Desember 2012, Ketua Militan KNPB Baliem Hubertus mengalami nasib yang sama.

Penembakan oleh “OTK” cenderung meningkat, baik di 2011 maupun 2012.  Antara 5 Juli-6 September 2011, terjadi 28 kali penembakan yang menewaskan 13 orang dan melukai sedikitnya 32 lainnya.

Sementara sepanjang 2012,  telah berlangsung 45 aksi penyerangan oleh pelaku “misterius” yang menewaskan 34 orang dan melukai 35.

Di Kabupaten Keerom, Kota Jayapura, sejak Juli-November 2012, 38 warga kampung mengungsi dan sempat bertahan di hutan. Pengungsian diawali penembakan seorang warga setempat oleh orang “tak diketahui” yang mengundang reaksi aparat keamanan.

Elsham menilai, pemerintah pusat dan daerah melalaikan kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran ini.

Kondisi yang menandai berbaliknya keberadaan Papua sebagai daerah otonomis khusus menjadi daerah operasi militer (DOM). Kebijakan militer yang pernah dikedepankan di era 1970-2000.

Ada kekebalan hukum terhadap para pelaku kekerasan dengan dibebaskan mereka dari pengadilan dan hukuman.Terdapat semacam pembenaran bagi menaiknya tindak kekerasan oleh aparat keamanan melalui ditutupnya Papua bagi masuknya lembaga kemanusiaan internasional, wartawan dan peneliti asing.

Satuan-satuan elite keamanan, seperti Detasemen 88 Anti-Teror, justru menjadi momok yang menyebarkan ketakutan kepada penggiat demokrasi di Papua.

Memprihatini kondisi ini, Elsham Papua menyerukan pemerintah Indonesia membuka Papua terhadap pantauan lembaga kemanusiaan, media massa dan pengamat internasional.

Elsham juga meminta Kepolisian Republik Indonesia berani mengungkap penyerang dan penembak misterius yang selalu merajalela di Papua dan motif di belakangnya.

Baik pemerintah Indonesia maupun kelompok-kelompok yang berseberang jalan, agar menempuh dialog sebagai jalan keluar yang manusiawi untuk mengakhiri konflik dan kekerasan yang berkelanjutan di Papua.

Dan supaya, tentara dan polisi menghargai peraturan hak asasi manusia sejagat yang telah ikut disahkan pemerintah Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar