27 Januari, 2013

Warga Honelama Kehilangan Rumah

Peristiwa 6 Juni 2012 di Kampung Honelama, Wamena adalah murni kriminal biasa. Tapi dampaknya meluas, memakan banyak kerugian harta benda. Seorang warga sipil dan seorang anggota Satgas Batalyon 756 Wimane Sili meninggal serta sedikitnya 14 orang menderita luka berat dan ringan. Para korban meminta pemerintah harus mengganti seluruh kerugian harta benda.

KEJADIAN murni kriminal biasa itu terjadi pada Rabu 6 Juni 2012 pukul 10.00 pagi. Hari itu, dua anggota Satuan Tugas Batalyon 756 Wimane Sili: Pratu TNI Sahlan dan Prada TNI Parloi Pardede menggunakan motor roda dua dari posnya lari dengan kecepatan tinggi menuju kota Wamena. Saat melintas di tengah Kampung Honelama itulah, keduanya menyenggol, Devid Wanimbo (10) yang sedang bermain di pinggir jalan raya terjatuh ke dalam got.
Sahlan dan Parloi berhenti dan menolong Devid, dan seorang ibu yang berada di sekitar itu membawanya ke UGD rumah sakit. Saat sedang menolong itulah, keduanya secara spontan warga yang berada di sekitar lokasi kejadian langsung mengeroyok kedua anggota TNI itu hingga babak belur. Pratu Sahlan tewas seketika dan Prada Parloi menderita luka berat dan dirawat di Unit Gawat Darurat RSUD Wamena.

Penyerangan pembalasan oleh Satgas Batalyon 756 ke warga Kampung Honelama  dilakukan pada hari itu juga pukul 12.00 siang. Anggota TNI yang datang langsung melakukan aksi secara membabibuta, dimulai dengan menembak ke udara, warga ditodong dengan senjata, dipukul menggunakan kayu balok 5x5 centimeter, ditikam dengan pisau sangkur, menembaki rumah-rumah warga, merusak, dan membakar rumah dan kendaraan warga yang ada di sekitarnya. Pembalasan tidak hanya di Kampung Honelama, tapi meluas sampai ke pusat kota Wamena yang berjarak empat kilometer.
Orang, kendaraan, rumah, kios-kios, mall, gedung DPRD dan fasilitas umum milik pemerintah di pusat kota Wamena turut menjadi korban aksi pembalasan brutal anggota Satgas Batalyon 756 Wimane Sili. Walau Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo, Dandim 1702 Jayawijaya, Letkol Inf. Eventus Teddy Danarto dan Kapolres Jayawijaya, AKBP Alfian Budianto telah menyerukan agar anggota Batalyon 756 melakukan pendekatan persuasif untuk menyelesaikan peristiwa penyenggolan dan penganiayaan di Honelama, namun mereka tidak menggubrisnya. Malah anggota Batalyon 756 menggunakan kekerasan yang menimbulkan banyak kerugian material dan korban jiwa.
Aksi penembakan ke berbagai arah oleh anggota Satgas 756 di kota Wamena terjadi di sepanjang Jalan Raya Irian, Yos Sudarso, Trikora, dan Jalan Sinakma Kimbim. Mereka tidak hanya menembak tapi juga membakar rumah-rumah penduduk. Kendaraan roda dua dan empat yang diparkir depan rumah juga turut dibakar. Bangunan Mall di Jalan Trikora ditembak 20 kali membuat seluruh kaca bangunan itu rontok, dan gardu listrik di perempatan pasar Potikelek juga ditembaki hingga rusak.
Pendeta Mus Wanimbo dari Gereja Baptis Wamena mengatakan Devid Wanimbo yang disenggol kedua anggota TNI Satgas Batalyon 756 Wimane Sili hingga kini masih hidup. Cuma mereka belum kembali ke rumah karena rumah mereka sudah hangus dibakar Satgas Batalyon 756 saat melakukan aksi pembalasan atas tewasnya teman mereka.
Theo Hesegem mengatakan Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua telah mendata seluruh kerugian material maupun  korban luka dan korban meninggal yang ditimbulkan akibat aksi brutal anggota TNI Satgas Batalyon 756, pada Rabu 6 Juni 2012 pukul 10.00 pagi lalu.
Kerugian yang didata tim investigasi yang beranggotakan Theo Hesegem dan Paulus Aspalek (Jaringan Advokasi Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua), Patricio Wetipo (Yayasan Humi Inane Wamena), Akhy Logo (YP3R Papua), Alex Itlay (Pemuda Katolik Wamena), dan Yoram Yogobi (Yayasan Yukemdi Wamena).
Menurut hasil investigasi itu ditemukan bahwa kerugian yang ditimbulkan akibat aksi pembalasan oleh Satgas Batalyon 756 Wimane Sili adalah 1 mobil dan 8 motor roda dua dibakar hangus, 2 mobil rusak kena tembak, 31 rumah warga dibakar, 24 rumah sehat dibakar, 9 kios dibakar, 23 rumah sehat dirusak, 2 ekor babi dibakar hangus dalam kandang, 14 orang menderita luka berat dan luka ringan, 2 orang meninggal: seorang bernama Elinus Yoman (27) meninggal karena lehernya dipotong dengan pisau sangkur. Korban adalah PNS di Kabupaten Puncakjaya. Korban meninggal lainnya: Pratu TNI Sahlan, anggota TNI Satgas Batalyon 756 Wimane Sili Wamena.
Seorang anggota DPRD Nduga bernama Enos Lokmbere juga menjadi korban penganiayaan anggota Satgas Batalyon 756 menggunakan pisau sangkur dan kayu balok 5x5 centimeter. Otniel Krebea (16), siswa SMU Negeri Wamena juga menjadi korban penganiayaan anggota Satgas. Dia menderita luka di otak kepala belakang dan bahu kiri karena ditikam dengan pisau sangkur.
Rapat perdamaian mengakhiri aksi brutal pasukan TNI Satgas Batalyon 756 Wimane Sili dilakukan pada Selasa 12 Juni 2012 lalu. Rapat itu dihadiri seluruh unsur pimpinan daerah diantaranya: Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo, Komandan Kodim 1702 Jayawijaya Letkol Inf. Eventus Teddy Danarto, Kapolres Jayawijaya AKBP Alfian Budianto, Komandan Batalyon 756 Wimane Sili Letkol Inf. Dwi Lagan Syafrudin, Ketua Pengadilan Negeri Wamena Timotius Tjemi, Ketua I DPRD Jayawijaya Agustina Walilo, anggota MRP Nehemi Yebikon serta beberapa pimpinan gereja, anggota DPRD dan pimpinan LSM di Wamena.
Dalam rapat itu, mereka  memutuskan beberapa hal penting untuk mengakhiri aksi pembatalasan anggota Satgas TNI terhadap warga sipil yang meluas di Wamena dan sekitarnya, yaitu: 1) Menyatakan rasa prihatin dan penyesalan yang mendalam atas kejadian pertikaian antara anggota TNI Satgas Batalyon 756 Wimane Sili dan warga sipil yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harga benda.
Kedua: Para pihak sepakat mengakhiri serta menjaga keamanan dan ketertiban di seluruh wilayah Jayawijaya dan Pegunungan Tengah Papua dengan menghargai proses penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah. 3) Pelaku sipil maupun anggota Satgas Batalyon 756 Wimane Sili harus diusut tuntas dan diproses sesuai hukum yang berlaku. 4) Meminta penghentian peredaraan minuman beralkohol oleh warga sipil maupun oleh aparat keamanan TNI dan Polri di seluruh wilayah Jayawijaya untuk mengurangi angka kriminal.
kelima: Pemerintah akan mendata seluruh kerugian akibat aksi 6 Juni 2012 dan akan memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada korban. 6) Jika terjadi hal serupa seperti pada 6 Juni 2012, maka untuk penyelesaiannya aparat diminta menggunakan pendekatan persuasif. 7) Jika hal serupa terjadi lagi, maka para pihak yang bertikai diminta tidak main hakim sendiri dan menggunakan alat tajam. 8) Masyarat, anggota TNI dan Polri diminta untuk tidak saling memprovokasi peristiwa 6 Juni 2012 dikemudian hari untuk memperpanjang masalah.
Sebanyak 12 perwakilan lembaga pemerintah, DPRD, MRP, TNI, Polri, Gereja, LSM dan tokoh adat yang hadir dalam rapat perdamaian sekaligus menandatangani delapan pernyataan sikap yang mereka buat. Hanya, Komandan Batalyon 756 Wimane Sili, Lektol Inf. Dwi Lagan Syafrudin yang tidak meneken pernyataan sikap bersama itu.
Sementara para korban yang harta bendanya dirusak dan dibakar, serta para korban menderita luka maupun keluarga korban meninggal meminta: 1) Oknum atau pelaku anggota Satgas Batalyon 756 Wimane Sili dan warga sipil pelaku menikaman terhadap Pratu Sahlan harus ditangkap dan diproses sesuai hukum yang berlaku. Para korban juga meminta proses hukum dilakukan secara terbuka agar diketahui masyarakat umum. 2) Pemerintah diminta untuk mengganti seluruh kerugian akibat kejadian Rabu 6 Juni 2012.
Ketua Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem mengatakan peristiwa 6 Juni 2012 di Kampung Honelama itu merupakan kasus kriminal biasa, tapi aparat memanipulasi peristiwa itu bahwa karena masyarakat mencuri senjata milik aparat. Itu sama sekali tidak benar. Kejadian itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan pencuri senjata. Pencurian senjata itu digunakan aparat sebagai alasan untuk menyerang, menyiksa dan menganiaya warga sipil yang tidak bersalah. Banyak warga yang tidak ada hubungan dengan kejadian 6 Juni 2012 di Honelama menjadi korban aksi Satgas Batalyon 756 Wimane Sili Wamena.
“Sampai sekarang masyarakat kampung Honelama masih mengungsi ke hutan dan ada yang masih tinggal di kampung-kampung lain. Mereka tidak bisa pulang karena tidak ada ruamh. Ini tindakan yang sangat tidak manusiawi. Oleh karena itu, kami minta bapak Panglima TNI kembali melihat tindakan anggota TNI dan mengklarifikasi ulang peristiwa sesungguhnya” kata Theo Hesegem yang ditemui di Jayapura, Selasa 20 Juni 2012 lalu.
Theo menambahkan, saat ini negara RI sedang disoroti dunia internasional tentang kondisi hak azasi manusia di Indonesia, dan lebih khusus soal kondisi HAM di Papua. Yang lebih mengerikan dari sikap anggota Satgas Batalyon 756 Wimane Sili adalah mereka tidak sedikitpun mengindahkan perintah wakil bupati, Dandim 1702 dan Kapolres Jayawijaya yang memerintahkan agar pasukan Satgas Batalyon 756 tidak melakukan tindakan anarkis, namun pasukan tidak menggubris dan terus melakukan aksi dan menelan banyak korban material serta korban meninggal dan korban meninggal.
Laporan tertulis Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua yang ditujukan kepada Panglima TNI, Kapolri, dan berbagai lembaga pemerintah dan LSM di Papua dan pemerintah pusat dilengkapi dengan foto-foto korban luka dan meninggal, jumlah kerugian material, jumlah bangunan yang dirusak, dibakar dan ditembak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar